Rabu, 12 November 2014

Kunci Kesabaran

albaqarah156

Kunci Kesabaran

Kunci Kesabaran
Kunci kesabaran itu ada dua kata kuncinya walaupun dirangkai dalam satu ayat. Surat Al Baqarah ayat 155-156. 
وَلَنَبۡلُوَنَّكُم بِشَىۡءٍ۬ مِّنَ ٱلۡخَوۡفِ وَٱلۡجُوعِ وَنَقۡصٍ۬ مِّنَ ٱلۡأَمۡوَٲلِ وَٱلۡأَنفُسِ وَٱلثَّمَرَٲتِ‌ۗ وَبَشِّرِ ٱلصَّـٰبِرِينَ (١٥٥) ٱلَّذِينَ إِذَآ أَصَـٰبَتۡهُم مُّصِيبَةٌ۬ قَالُوٓاْ إِنَّا لِلَّهِ وَإِنَّآ إِلَيۡهِ رَٲجِعُونَ
Dan berikan kabar gembira kepada orang-orang yang sabar. Siapakah orang-orang yang sabar? Mereka itulah yang mendapat keberkatan yang besar, curahan rahmat Allah dan hidupnya dibimbing oleh Allah. Dua, Innalillahi Wainailaihi Rojiun. Sesungguhnya, kami adalah milik Allah dan kembali kepada Allah.

Jadi, kemampuan orang untuk tidak merasa memiliki, tidak merasa dimiliki kecuali hanya milik Allah, itu pintu pertama sabar. Dan yang kedua, kemampuan kita lepas dari bersandar kepada siapapun selain bersandar hanya kepada Allah, itu kunci sabar. Sepanjang masih merasa ini milik saya. Sepanjang masih merasa ada selain Allah yang bisa menolong saya, sulit untuk mendapatkan karunia sabar. Dalam penghujung surat Al Baqarah. Lillahi maa fissamaawaati wa ma filard, milik Allah segala yang ada di langit segala yang ada di bumi. Semua yang ada pasti adalah ciptaan Allah. Kalau Allah yang mencipta, maka itu pasti milik Allah. Kalau itu milik Allah, siapa yang mengurus? Allah.

Diri kita ciptaan Allah, diri kita milik Allah, diri kita diurus oleh Allah setiap saat. Kita tidak bisa mengurus diri kita karena kita tidak tahu apa yang harus diurus. Sedikiiiit. Paling mandi, keramas, gunting kuku. Untuk ngorek kotorang kuping saja sudah susah. Belum lagi yang di dalem. Jantung, paru-paru, empedu, 100 triliun sel tubuh ini. Manusia ini dijumlahkan cuma 6 miliar lebih. Tubuh ini 100 triliun sel. Banyak triliun itu. Dan tiap sel hidup, berkomunikasi, punya generator sendiri, punya sistem keamanan, punya sistem informasi. Tiap sel! Kurang lebih ada 200 jenis sel katanya di dalam tubuh ini dan tidak tertukar. Semuanya! Bergerak, berkomunikasi, hidup, mati, bila sebagian sel mati ganti lagi dengan sel baru. Siapa yang ngurus? Allah
Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.

7 Wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

7 wasiat

7 Wasiat Rasulullah shallallahu alaihi wasallam

Segala puji hanya milik Allah Swt. yang telah mengirimkan utusan-Nya bernama Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam sebagai suri teladan untuk seluruh umat manusia. Seorang insan yang telah memberikan contoh berperikehidupan mulia bagi seluruh alam.

Saudaraku, melalui ribuan haditsnya, Muhammad Rasulullah shallallahu alaihi wasallam telah mengabadikan wasiat tentang nilai-nilai kebajikan sebagai pedoman hidup bagi umatnya dan juga bagi seluruh manusia. Salah satunya adalah wasiat yang beliau sampaikan kepada salah seorang sahabatnya yaitu Abu Dzar Al Ghifari RA..

Dari Abu Dzar RA., ia berkata: “Kekasihku (Rasulullah) Shallallahu ‘alaihi wa sallam berwasiat kepadaku dengan tujuh hal:
(1) supaya aku mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka,
(2) beliau memerintahkan aku agar aku melihat kepada orang yang berada di bawahku dan tidak melihat kepada orang yang berada di atasku,
(3) beliau memerintahkan agar aku menyambung silaturahimku meskipun mereka berlaku kasar kepadaku,
(4) aku dianjurkan agar memperbanyak ucapan lâ haulâ walâ quwwata illâ billâh (tidak ada daya dan upaya kecuali dengan pertolongan Allah),
(5) aku diperintah untuk mengatakan kebenaran meskipun pahit,
(6) beliau berwasiat agar aku tidak takut celaan orang yang mencela dalam berdakwah kepada Allah, dan
(7) beliau melarang aku agar tidak meminta-minta sesuatu pun kepada manusia”.
Hadits ini diriwayatkan oleh imam-imam ahli hadits, diantaranya adalah Imam Ahmad, Imam Ath Thabrani, Imam Ibnu Hibban, Imam Abu Nu’aim, dan Imam Al Baihaqi.

InsyaAllah pembahasan satu-persatu 7 wasiat  Rasulullah shallallahu alaihi wasallam akan dilanjutkan pada posting berikutnya.
Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.

Mencintai Orang Miskin


cintai orang miskin

Wasiat #1 – Mencintai Orang Miskin

Di dalam Al Quran Allah Swt. berfirman, “Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim, dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (QS. Al Maa’uun [107] : 1-3).
Tentang penjelasan ayat-ayat ini, Sayyid Quthb menegaskan: “Bila keimanan seseorang benar-benar meresap kuat dalam dada, ia tidak akan menghardik anak yatim, dan tidak akan membiarkan orang-orang miskin kelaparan. Masalah keimanan bukanlah hanya semboyan dan ucapan, melainkan perubahan dalam hati yang melahirkan kebaikan dalam hidup bersama dengan manusia yang lain, terutama mereka yang sangat membutuhkan bantuan. Allah tidak ingin keimanan hamba-Nya hanya kalimat yang diucapkan, melainkan harus diterjemahkan dalam perbuatan nyata. Bila tidak, keimanan itu menjadi sekedar buih yang tidak bermakna dan tidak berpengaruh apa-apa.” (Fi dzilalil Qur’an, vol.6, hal. 3985).
Wasiat yang Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tujukan kepada Abu Dzar ini hakikatnya adalah wasiat untuk umat Islam secara umum. Dalam hadits ini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berwasiat kepada Abu Dzar agar mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka. Kita sebagai umat Islam hendaknya menyadari bahwa nasihat beliau ini tertuju kepada kita semua.
Orang-orang miskin yang dimaksud adalah mereka yang hidupnya tidak berkecukupan, tidak punya kepandaian untuk mencukupi kebutuhannya, dan mereka tidak mau meminta-minta kepada manusia. Pengertian ini sesuai dengan sabda Rasulullah shallallahu alaihi wasallam. ,
“Orang miskin itu bukanlah mereka yang berkeliling meminta-minta kepada orang lain agar diberikan sesuap dan dua suap makanan dan satu-dua butir kurma.” Para sahabat bertanya: “Ya Rasulullah, (kalau begitu) siapa yang dimaksud orang miskin itu?” Beliau menjawab,”Mereka ialah orang yang hidupnya tidak berkecukupan, dan dia tidak mempunyai kepandaian untuk itu, lalu dia diberi shadaqah (zakat), dan mereka tidak mau meminta-minta sesuatu pun kepada orang lain.”
Islam menganjurkan umatnya berlaku tawadhu` terhadap orang-orang miskin, duduk bersama mereka, menolong mereka, serta bersabar bersama mereka.
Ketika Rasulullah shallallahu alaihi wasallam berkumpul bersama orang-orang miskin, datanglah beberapa pemuka Quraisy hendak berbicara dengan beliau Rasulullah shallallahu alaihi wasallam., tetapi mereka enggan duduk bersama dengan orang-orang miskin itu, lalu mereka menyuruh beliau agar mengusir orang-orang fakir dan miskin yang berada bersama beliau. Maka, masuklah dalam hati beliau keinginan untuk mengusir mereka, dan ini terjadi dengan kehendak Allah Ta’ala. Lalu turunlah ayat:
“Janganlah engkau mengusir orang yang menyeru Rabb-nya di pagi dan petang hari, mereka mengharapkan wajah-Nya”. (QS. Al – An’âm [6] : 52).
Mencintai orang-orang miskin dan dekat dengan mereka, yaitu dengan membantu dan menolong mereka, bukan sekedar dekat dengan mereka. Apa yang ada pada kita, kita bagi dan kita berikan kepada mereka karena kita akan diberikan kemudahan oleh Allah Ta’ala dalam setiap urusan, dihilangkan kesusahan pada hari Kiamat, dan memperoleh ganjaran yang besar.
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  bersabda, “Barangsiapa menghilangkan satu kesusahan dunia dari seorang mukminAllah akan menghilangkan darinya satu kesusahan di hari KiamatDan barangsiapa yang memudahkan kesulitan orang yang dililit hutangAllah akan memudahkan atasnya di dunia dan akhirat.(HR. Muslim)
Dalam haditsnya yang diriwayatkan oleh Abi Hurairah RA., Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,“Orang yang membiayai kehidupan para janda dan orang-orang miskin bagaikan orang yang berjihad fii sabiilillaah.” –Saya (perawi) kira beliau bersabda-, “Dan bagaikan orang yang shalat tanpa merasa bosan serta bagaikan orang yang berpuasa terus-menerus”. [HR. Bukhari dan Muslim].
Semasa hidupnya Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selalu berkumpul berdampingan dengan orang-orang miskin. Bahkan beliau memohon kepada Allah agar dihidupkan dalam keadaan tawadhu’, yang beliau ucapkan dengan kata “miskin”. Sebagaimana hadits sabda beliau,
“Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah aku dalam keadaan miskin, dan kumpulkanlah aku bersama rombongan orang-orang miskin”. [HR. Ibnu Majah].
Ini adalah doa Rasulullah shallallahu alaihi wasallam agar Allah Ta’ala memberinya sifat tawadhu` dan kerendahan hati, serta agar beliau tidak termasuk orang-orang yang sombong lagi zhalim apalagi menjadi termasuk kalangan orang-orang kaya yang melampaui batas. Hadits ini tidaklah bermakna bahwa beliau meminta untuk dijadikan manusia yang miskin. Sebagaimana dijelaskan oleh Ibnu Atsir RA., bahwa kata “miskin” dalam hadits di atas bermakna tawadhu[1]. Hal ini diperkuat dengan hadits lain di mana Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memohon perlindungan kepada Allah Swt. dari kefakiran.
Permohonan Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ini bukanlah tanpa alasan. Sesungguhnya beliau telah mengetahui bahwa terdapat perbedaan jarak waktu antara orang-orang miskin dan orang-orang kaya dari kalangan kaum muslimin ketika memasuki surga. Dimana orang-orang miskin akan setengah hari lebih cepat memasuki surga dibandingkan orang-orang kaya. Kadar waktu setengah hari ini adalah lima ratus tahun. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Orang-orang faqir kaum Muslimin akan memasuki surga sebelum orang-orang kaya (dari kalangan kaum Muslimin) selama setengah hari, yaitu lima ratus tahun”. [HR. At Tirmidzi dan Ibnu Majah]
Mengapa bisa seperti ini, dan orang-orang miskin seperti apakah yang akan masuk surga dengan lebih cepat itu? Hal ini terjadi karena orang-orang kaya akan terlebih dahulu menghadapi perhitungan dan pertanggungjawaban tentang bagaimanakah harta kekayaan mereka itu dipergunakan, dimanakah harta kekayaan mereka itu dibelanjakan. Apakah mereka mempergunakannya untuk beribadah kepada Allah Swt., ataukah untuk bermaksiat terhadap-Nya.
Adapun orang–orang miskin yang dimaksud dalam hadits di atas adalah mereka yang senantiasa berupaya dengan segenap kemampuan untuk melakukan amal perbuatan yang merupakan bentuk ketaatan mereka kepada Allah Swt.. Mereka adalah orang-orang miskin yang meskipun dengan keadaan mereka yang serba kekurangan, akan tetapi kekurangan mereka itu tidak menghalangi mereka untuk tetap berpegang kepada Sunnah dan menghindari perbuatan-perbuatan bid’ah. Keterbatasan mereka tidak lantas membuat mereka terjerumus kepada perbuatan munkar. Mereka tetap berkomitmen menunaikan perbuatan ma’ruf.
Dalam hadits yang lain Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meminta kepada Allah Swt. agar beliau dijadikan orang yang mencintai orang-orang miskin. Beliau bersabda,
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu agar aku dapat melakukan perbuatan-perbuatan baik, meninggalkan perbuatan munkar, mencintai orang miskin, dan agar Engkau mengampuni dan menyayangiku. Jika Engkau hendak menimpakan suatu fitnah (malapetaka) pada suatu kaum, maka wafatkanlah aku dalam keadaan tidak terkena fitnah itu. Dan aku memohon kepada-Mu rasa cinta kepada-Mu, rasa cinta kepada orang-orang yang mencintaimu, dan rasa cinta kepada segala perbuatan yang mendekatkanku untuk mencintai-Mu”. [HR. Ahmad].
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam  juga menginformaskan kepada kita semua bahwasanya Allah Swt. akan melimpahkan rezeki-Nya kepada kita apabila kita memberikan pertolongan kepada orang-orang miskin dan orang-orang yang membutuhkan uluran tangan kita. Rasulullah Saw. bersabda,
“Kalian hanyalah mendapat pertolongan dan rezeki dengan sebab adanya orang-orang lemah dari kalangan kalian”.[HR. Bukhari]
Bahkan dalam sabdanya yang lain, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memberitahukan bahwa betapa besar peran yang diberikan oleh orang-orang yang hidup dalam keterbatasan, terhadap umat ini. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda,
“Sesungguhnya Allah menolong ummat ini dengan sebab orang-orang lemah mereka di antara mereka, yaitu dengan doa, shalat, dan keikhlasan mereka”.[HR. An Nasai]
Sepanjang usianya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam tak pernah luput untuk berempati kepada kaum miskin. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam teramat mencintai mereka. Maka tak heran apabila beliau senantiasa berwasiat kepada sahabat-sahabatnya untuk senantiasa mencintai mereka yang kekurangan secara ekonomi. Wasiat Rasulullah Saw. itu sebagaimana yang beliau sampaikan kepada Abu Dzar RA., salah seorang sahabatnya.
Besarnya perhatian Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada kaum papa ini menginspirasi Ibn Majah untuk mebuat bab khusus yang membahas keutamaan orang-orang miskin, yaitu bab Fadlul Faqr(keutamaan kefakiran), bab Manzilatul Fuqara’ (derajat orang-orang miskin), dan bab Mujalasatul Fuqara(bergaul dengan orang-orang miskin) di dalam kitab karyanya.
Dalam suatu riwayat dari Ibnu ‘Umar disebutkan bahwa pada suatu ketika sahabat-sahabat Rasulullah Saw. yang miskin dari kalangan kaum muhajirin menceritakan betapa beruntungnya sahabat-sahabat mereka yang kaya, di mana mereka memiliki kesempatan yang lebih lapang untuk melakukan kebajikan sehingga bisa memperoleh pahala lebih banyak dibandingkan mereka.
Mendengar hal itu, Rasulullah Saw. langsung bersabda: “Wahai orang-orang yang miskin, aku akan memberikan kabar gembira kepada kalian, bahwa orang mukmin yang miskin akan masuk surga lebih dahulu dari pada orang mukmin yang kaya, dengan tenggang waktu setengah hari, itu sama dengan lima ratus tahun. Bukankah Allah berfirman: Sesungguhnya sehari di sisi Tuhanmu adalah seperti seribu tahun menurut perhitunganmu.” (QS. Al Hajj [22] : 47).
Lantas, bagaimanakah dengan kehidupan Rasulullah Saw. sendiri. Apakah beliau termasuk orang-orang yang hidup di dalam kemiskinan ataukah bergelimang harta kekayaan? Rasulullah Saw. hidup di dalam kesederhanaan dan kebersahajaan. Bahkan, isteri beliau yaitu ‘Aisyah RA. pernah menceritakan bahwa di rumah mereka pernah tidak mengepul asap (tidak memasak) selama satu bulan lamanya. ‘Aisyah RA. menceritakan bahwa ketika itu ia dan sang suami tercinta hanya meminum air dan makan beberapa butir kurma.
Ada salah satu doa Rasulullah Saw. yang berbunyi, “Ya Allah, hidupkanlah aku dalam keadaan miskin, matikanlah dalam keadaan miskin dan kumpulkanlah dengan orang-orang miskin.” [HR. Ibnu Majah]. Maksud dari “miskin” dalam hadits ini bukanlah keadaan tidak memiliki apa-apa, melarat, sengsara atau maksud lainnya yang dipahami sebagian orang terhadap kata “miskin”. Miskin dalam hadits ini seperti yang dijelaskan Imam Baihaqi bahwa maksudnya adalah khusyu’ dan tawadlu.
Jadi, dalam hadits tersebut di atas, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam meminta kepada Allah Swt. supaya beliau dijadikan sebagai orang yang senantiasa hidup di dalam keadaan yang menjadikan diri beliau sebagai orang yang khusyu dan tawadlu.
Kepada sahabat-sahabatnya, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam selalu menceritakan bahwa diri dan keluarganya tidak pernah mempunyai harta yang jumlahnya mencapai satu Sha’ (3751 gram) biji-bijian atau kurma. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa beliau hanya mempunyai harta sebanyak satu Mud (938 gram) makanan[2].
Mencintai orang-orang miskin adalah bukti dari keimanan kita kepada Sang Khaliq. Apabila ajaran mulia dari Rasulullah Saw. ini sudah benar-benar dipahami dan diamalkan oleh kita semua, tentulah kita tidak akan menyaksikan bayi yang ditahan rumah sakit hanya karena orang tuanya tidak bisa menebus biaya persalinan. Tentulah juga kita tidak akan menyaksikan orang-orang miskin yang akhirnya meregang nyawa karena ditolak berobat oleh rumah sakit sebab kendala biaya.
Mari kita perhatikan, ternyata fenomena-fenomena sosial tersebut hampir setiap hari kita temukan baik di hadapan mata kita secara langsung, maupun informasi memalui media-media. Semoga kita termasuk umat Rasulullah Saw. yang senantiasa meneladani beliau dalam mencintai orang-orang miskin dan kaum lemah.

[1] An Nihâyah fî Gharîbil Hadîts (II/385), Imam Ibnul-Atsir RA..
[2] Sunan Ibnu Majah : 4147-8.

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.

Jangan Mempersulit Diri


alamnasyrah

Jangan Mempersulit Diri

Permasalahan yang terjadi di dalam hidup kita adalah hasil dari dramatisasi yang kita lakukan sendiri. Kita lebih banyak merasakan penderitaan sebagai akibat dari buatan kita sendiri, kekhawatiran kita sendiri, kepanikan kita sendiri.

Ternyata kesemua itulah yang membuat kita menjadi merasa tertekan dan terbebani. Padahal, jika kita sikapi dengan kepala dingin, pikiran jernih dan hati yang lapang, kita tidak akan merasa kerepotan menghadapi segala kenyataan yang terjadi pada hidup kita.

Sebagai contoh misalnya, seseorang yang merasakan sakit pinggang. Kemudian, dia memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter. Sebelum berangkat, ia bercerita pada temannya tentang apa yang sedang dirasakannya itu. Ia sampaikan segala kekhawatiran jika seandainya yang ia derita adalah penyakit ginjal, maka ia akan menghadapi resiko pengobatan dan perawatan yang tidak sederhana dan mahal. Bahkan, ia pun menceritakan kegelisahannya seandainya ternyata ia harus mengalami gagal ginjal dan menjalani cuci darah, dan seterusnya, dan sebagainya.

Semakin orang ini menceritakan ketakutan dan kekhawatirannya, maka semakin terbebanilah ia, semakin streslah ia. Beban yang datang disebabkan ketakutan-ketakutan yang ia hadirkan sendiri dari perkiraan atau dugaannya sendiri. Padahal ia sama sekali belum menjalani pemeriksaan kesehatan oleh dokter. Hal seperti inilah yang banyak terjadi pada diri manusia, yang kemudian menimbulkan penderitaan jiwa di dalam diri mereka sendiri.

Maka, kendalikanlah diri sebisa mungkin agar terhindar dari sikap mendramatisir masalah yang sedang terjadi. Janganlah larut di dalam jebakan-jebakan sikap yang mempersulit diri sendiri. Karena sikap-sikap seperti itulah yang akan semakin memperbesar kesulitan dan penderitaan di dalam diri.

Allah Swt. di dalam Al Quran,
Ÿلَا يُكَلِّفُ ٱللَّهُ نَفۡسًا إِلَّا وُسۡعَهَا‌ۚ
Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kadar kesanggupannya..” (QS. Al Baqarah [2] : 286).

Maha Suci Allah Swt. dari perbuatan dzalim terhadap hamba-hamba-Nya. Tidak ada ketetapan-Nya yang di luar batas kesanggupan hamba-hamba-Nya. Kesemuanya sudah terukur. Tidak ada yang berat dan tidak ada yang tidak bisa dihadapi. Adapun yang berat adalah karena kita kurang ilmu dan kurang iman dalam menghadapi kenyataan yang terjadi pada diri kita, sehingga kita keliru dalam menyikapi apa yang Allah Swt. tetapkan kepada diri kita.

Jadi saudaraku, hidup ini bagaikan siang dan malam. Kita siap menghadapi siang karena kita tahu persis apa yang akan kita lakukan pada siang hari. Kita pun tidak panik saat malam menjelang karena kita tahu apa yang akan kita lakukan di waktu malam. Bahkan, tidak jarang kita sangat mendambakan malam segera datang karena kita tahu akan ada manfaat yang akan kita peroleh di waktu malam. Demikian juga, tidak jarang kita menanti-nanti datangnya waktu siang karena tahu bahwa ada hal menyenangkan yang akan didapat di waktu siang.

Memang benar, tidak jarang babak kehidupan yang menimpa kita terasa berat dan getir. Tapi itu sama sekali bukan alasan bagi kita untuk mendramatisir keadaan kemudian merasa beralasan untuk tenggelam dalam kesedihan, seolah kemalangan adalah nasibnya.

Ketika ada yang memuji kita, kita harus mawas diri bahwasanya pujian tersebut tidaklah cocok untuk kita. Kita dipuji sebenarnya bukan karena kelebihan kita, akan tetapi karena orang yang memuji itu tidak mengetahui siapa diri kita yang sebenarnya. Ia tidak mengetahui kejelekan-kejelekan kita yang tersembunyi. Sehingga apabila kita ketahui ilmunya, ketika kita mendapatkan pujian, maka kita tidak akan terjebak untuk mendramatisir diri, membohongi diri karena pujian tersebut dengan bentuk sikap membangga-banggakan diri karena pujian tersebut. Jika kita mengetahui ilmunya, maka sikap yang akan kita lakukan adalah mengembalikan pujian tersebut kepada Sang Pemilik pujian sejati yaitu Allah Swt., Dzat Yang Maha Agung lagi Maha Terpuji.
Rasulullah Saw. memberikan trik yang sangat baik untuk diteladani supaya kita tidak terjerat dengan jebakan pujian manusia.
Pertama, selalu mawas diri agar tidak terbuai oleh pujian orang lain. Oleh karena itu, setiap kali ada yang memuji beliau, Rasulullah Saw menanggapinya dengan doa, “Ya Allah, janganlah Engkau hukum aku karena apa yang dikatakan oleh orang-orang itu.” (HR. Bukhari).

Kedua, menyadari sepenuh hati bahwa hakikat pujian adalah topeng dari sisi gelap kita yang tidak diketahui orang lain. Ketika ada yang memuji kita, itu lebih karena ketidaktahuannya tentang sisi kejelekan kita. Oleh sebab itu, Rasulullah Saw dalam menanggapi pujian,  beliau berdoa, “Ya Allah, ampunilah aku dari apa yang tidak mereka ketahui (dari diriku).” (HR Bukhari).

Ketiga, kalaupun pujian yang dilontarkan orang lain terhadap diri kita memang benar ada di dalam diri kita, Rasulullah Saw. mengajarkan kita agar memohon kepada Allah Swt. untuk dijadikan pribadi yang lebih baik lagi. Apabila mendengar pujian, Rasulullah Saw kemudian berdoa, Ya Allah, jadikanlah aku lebih baik dari apa yang mereka kira.” (HR Bukhari).

Demikian juga saat kita mendapat cacian. Jika kita tahu ilmunya, kita tidak akan panik. Kita justru akan bersikap tenang dan mendengarkan cacian itu, karena bisa jadi cacian itu adalah informasi untuk kita tentang diri kita supaya kita mau mengevaluasi dan memperbaiki diri. Karena, orang paling mulia saja yaitu Nabi Muhammad Saw., mendapat hinaan dan cacian, apalagi kita yang kemuliaannya sangat jauh di bawah beliau. Jika kita benar menyikapi hinaan orang lain terhadap kita, maka hinaan itu justru akan mempertinggi derajat kita.

Demikian juga ketika kita sakit, jika kita mengetahui ilmunya maka kita akan selalu siap menghadapi keadaan ini. Ketika sakit menimpa kita, maka kita akan menyadari bahwa orang yang sakit adalah ladang rezeki bagi para dokter dan perawat. Kita juga akan menyadari bahwa sakit adalah satu episode di dalam hidup kita yang juga harus kita nikmati.

Bukankah Rasulullah Saw. sendiri yang menjanjikan bahwa kita akan digugurkan dosa ketika kita sakit, bagaikan daun-daun kering yang berguguran. Sebagaimana sabda Rasulullah Saw., “Tidaklah seseorang muslim ditimpa keletihan, penyakit, kesusahan, kesedihan, gangguan, kegundah-gulanan hingga duri yang menusuknya, melainkan Allah akan menghapuskan sebagian dari kesalahan-kesalahannya”. (HR. Bukhari).

Oleh karena itu, jangan mempersulit diri, tidak perlu mendramatisir kenyataan yang terjadi. Hadapi saja, jalani saja hidup ini. Tidak perlu panik saat melihat kenyataan yang tidak sesuai dengan keinginan. Juga tidak perlu berbangga diri bisa melihat kenyataan yang sesuai dengan harapan. Serahkan setiap yang terjadi kepada Allah Swt.. Setiap kenikmatan yang terjadi di dunia ini hanyalah sedikit dan semu belaka. Ada kenikmatan yang jauh lebih besar, tiada berbatas, dan sejati di akhirat kelak.

Sahabat, tidak ada kesengsasaraan yang kekal di dunia ini. Malah, kesesengsaraan itu sendiri adalah hasil rekaan atau akibat dari sikap kita sendiri yang keliru menyikapi kehidupan dunia ini. Jika manusia menemukan suatu ujian di dalam hidupnya, maka sesungguhnya ujian tersebut datang sudah satu paket dengan kemudahan atau jalan keluarnya. Allah Swt. berfirman,
فَإِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرًا إِنَّ مَعَ ٱلۡعُسۡرِ يُسۡرً۬ا
“Karena sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan. Sesungguhnya bersama kesulitan itu ada kemudahan.” (QS. Alam Nasyrah [94] : 5 - 6).

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.

Melihat Pada Orang yang Lebih Rendah Dalam Hal Materi

rakyat miskin

Melihat Pada Orang yang Lebih Rendah Dalam Hal Materi

Wasiat Kedua dari Rasulullah shallallahu alaihi wasallam kepada Abu Dzar Al Ghifari RA. adalah Melihat Pada Orang yang Lebih Rendah Dalam Hal Materi dan Penghidupan.

Saudaraku yang dirahmati Allah, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kita agar senantiasa melihat orang yang berada di bawah kita dalam masalah kehidupan dunia dan mata pencaharian. Tujuan dari hal itu adalah supaya kita tetap mensyukuri nikmat yang telah Allah berikan kepada kita. Rasulullah shallallahu alaihi wasallam bersabda:

“Lihatlah kepada orang yang berada di bawahmu dan jangan melihat orang yang berada di atasmu, karena yang demikian lebih patut, agar kalian tidak meremehkan nikmat Allah yang telah diberikan kepadamu” . [HR. Bukhari].
Melalui hadits ini, Rasulullah shallallahu alaihi wasallam mengingatkan umatnya untuk tidak menengadahkan pandangan kepada mereka yang kehidupannya berada pada tempat lebih tinggi dalam segi keduniawian. Orang-orang yang dimaksud ini adalah orang-orang yang hidup di dalam gelimang harta kekayaan yang melimpah, posisi atau kedudukan atau jabatan yang tinggi, dan lain sebagainya.

Disadari atau tidak, kita seringkali lupa untuk mengikuti perintah Rasulullah shallallahu alaihi wasallam ini. Kita seringkali melihat kepada orang-orang yang berada di atas kita. Padahal ini merupakan salah satu jebakan syaitan yang bisa menjerumuskan kita ke dalam jurang kerugian. Bagaimana hal itu terjadi? Yaitu ketika kita silau melihat mereka yang hidupnya menurut kita jauh lebih enak, nyaman dan tentram, sehingga kita pun lupa untuk mensyukuri segala karunia Allah Swt. yang sudah kita miliki.

Ketika kita tinggal di rumah kontrakan dan terpukau melihat mereka yang tinggal di rumah sendiri yang megah nan mewah, maka ingatlah selalu bahwa di luar sana masih banyak saudara-saudara kita yang hidup tidak lebih baik dari kita. Yaitu, mereka yang tinggal di kolong-kolong jembatan dan di emperan pertokoan.

Atau, ketika kita melihat orang lain yang memiliki penghasilan lebih besar daripada kita kemudian timbul rasa iri hati pada diri kita, maka ingatlah bahwa di luar sana masih begitu banyak orang-orang yang bekerja serabutan, orang-orang tidak memiliki pekerjaan, dan orang-orang yang tidak tahu darimana dan bagaimana ia dapat uang esok hari.
Akan tetapi lain halnya apabila kita berbicara dalam urusan agama, ketaatan, pendekatan diri kepada Allah Swt.. Dalam urusan ini sudah seharusnya kita melihat kepada orang yang berada di atas kita, yaitu para nabi, para sahabat, para syuhada, dan orang-orang  shaleh. Mengapa? Supaya kita termotivasi untuk meneladani kesungguhan dan kegigihan mereka dalam meningkatkan kualitas ibadah terhadap Allah Swt.. Bahkan, sudah semestinya kita berlomba-lomba untuk melakukannya. Allah Swt. berfirman,

“Dan untuk yang demikian itu, hendaknya orang berlomba-lomba”. (QS. Al Muthaffifîn [83]: 26).
Rasulullah shallallahu alaihi wasallam memerintahkan kita untuk melihat kepada orang yang berada di bawah kita dalam masalah dunia. Hal ini dimaksudkan agar kita menjadi orang-orang yang senantiasa bersyukur dan qana’ah. Yaitu, orang yang senantiasa merasa cukup dengan apa yang Allah telah karuniakan kepada kita, tanpa perasaan iri dan dengki terhadap manusia.

Abu Dzar RA. adalah teladan kita dalam hal ini. Beliau mencari makan untuk hari yang sedang dijalaninya. Adapun untuk keesokan harinya beliau akan mencarinya lagi. Beliau melakukan yang demikian itu terus-menerus dalam kehidupannya. Mudah-mudahan Allah Swt. meridhai beliau.

Ditulis oleh: KH. Abdullah Gymnastiar ( Aa Gym )
Beliau adalah pengasuh pondok pesantren Daarut Tauhiid Bandung – Jakarta.

Sabtu, 01 November 2014

Cara mematikan update Google crome2


Cara Mematikan Update Google Chrome
Bagi anda yang menggunakan Google Chrome, pasti anda akan mengalami yang namanya update browser. Ini dikarenakan pihak Google sering memperbarui versi browser mereka. Pada saat anda sedang berinternet ria, tiba-tiba anda dikejutkan dengan update Chrome, tentu saja ini akan sangat mengganggu mood anda dalam berinternet ria. Untuk itu, kita harus mendisable update otomatis di Google Chrome. Bagaimana caranya? Berikut ini panduan mematikan update otomatis Google Chrome:

Untuk bisa mematikan update Google Chrome, anda harus download windows group policy template dari Google. Anda bisa download melalui link berikut ini:http://dl.google.com/update2/enterprise/GoogleUpdate.adm
Masuk ke menu Run, lalu ketikkan gpedit.msc
Silahkan anda menuju ke Local Computer Policy > Computer Configuration > Administrative Templates.
Klik kanan, kemudian klik pada > Add/Remove Templates
Maka akan terdapat jendela baru. Klik tombol add, kemudian pilih Google update yang sudah didownload sebelumnya.
Silahkan anda menuju Local Computer Policy > Computer configuration > Administrative templates > Google > Google Update > Applications > Google Chrome

Pada pilihan update policy override, pilih Enable. Kemudian pada Policy silahkan anda pilih update disabled.
Klik Apply dan OK.Maka sekarang Google Chrome anda tidak akan mengupdate versi sehingga anda tidak perlu khawatir lagi karena terganggu Google Chrome.